REGIONAL- Yogyakarta – Dwi Sendi Priyono Dosen Fakultas Biologi UGM memiliki cerita sendiri menjadi anggota penuh pertama dari Indonesia di Society for Wildlife Forensic Science (SWFS), organisasi internasional untuk ilmu forensik satwa liar. Menjadi anggota di SWFS ini, harapannya dapat berkolaborasi dengan para ahli internasional untuk mengembangkan metode yang lebih efektif dalam menangani kejahatan satwa liar.
“Motivasi utama saya bergabung dengan SWFS adalah untuk memperluas jaringan profesionalnya dan mengakses pengetahuan terbaru dalam bidang forensik satwa liar, khususnya dalam pendekatan DNA,” kata ahli DNA forensik satwa liar ini melalui keterangan kepada wartawan, Rabu 21 Agustus 2024.
Menjadi anggota SWFS ia berharap bisa memperkuat penanganan kejahatan satwa liar di Indonesia yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dan pusat perdagangan satwa ilegal. Menurutnya, perdagangan satwa ilegal seringkali melibatkan barang sitaan yang tidak utuh, sehingga sulit diidentifikasi secara morfologi.
“Keterampilan dalam pengujian DNA menjadi sangat penting,” ujar Kepala Laboratorium Sistematika Hewan di Departemen Biologi Tropika UGM ini.
Menurutnya untuk menjadi anggota penuh SWFS tidaklah mudah karena harus melalui proses seleksi yang ketat, dan mendapatkan minimal dua rekomendasi dari ahli forensik satwa liar internasional. Tantangan terbesarnya adalah memenuhi standar tinggi yang ditetapkan oleh SWFS.
“Keterlibatan saya dalam membantu berbagai kasus dengan pihak seperti Mabes Polri, Badan Intelijen dan Keamanan Polri, serta hasil kerja yang telah dipublikasikan secara ilmiah, akhirnya membantu saya mendapatkan keanggotaan penuh ini,” ungkapnya.
Sebelum di SWFS Dwi sudah melanglang buana di berbagai NGO dalam dunia konservasi satwa liar. Sehingga kemampuannya dalam forensik satwa liar terasah.
“Teknologi DNA forensik satwa liar sebenarnya bukan hal baru di dunia konservasi secara global, namun belum banyak diadopsi di Indonesia karena keterbatasan SDM dan fasilitas,” jelasnya.
Dwi berharap dengan ilmu yang dimilikinya bisa berkontribusi ilmiah dalam mendukung tindakan hukum terhadap pelanggaran perdagangan satwa liar di Indonesia. Dwi dan timnya menggunakan teknik DNA forensik untuk menganalisis berbagai bukti forensik dari kasus-kasus satwa liar.
“Kami menggunakan teknik DNA untuk mengidentifikasi spesies dan mengkonfirmasi apakah barang bukti tersebut berasal dari spesies yang dilindungi,” jelasnya.
Salah satu kasus yang paling berkesan baginya adalah ketika ia berhasil mengidentifikasi asal geografis dari gading gajah yang diselundupkan.
“Hasil analisis ini berperan krusial dalam proses hukum dan mendukung upaya pelestarian dengan menyediakan bukti ilmiah yang kuat,” tambahnya.
Saat ini sebagai anggota penuh SWFS Dwi terlibat dalam pengembangan standar forensik satwa liar, berbagi pengetahuan, dan berpartisipasi dalam proyek-proyek global. Ia berencana untuk mengembangkan proyek yang fokus pada pembuatan database forensik satwa liar yang komprehensif di Indonesia, serta meningkatkan kapasitas lokal melalui pelatihan dan workshop.
“Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum dan upaya pelestarian dengan menyediakan alat yang lebih baik untuk analisis forensik,” harapnya.
Dengan keterbatasan fasilitas dan teknologi dan minimnya database DNA satwa endemik, Dwi tetap optimis tentang masa depan forensik satwa liar di Indonesia. Dukungan internasional dan kolaborasi yang semakin kuat, ia percaya bahwa kapasitas lokal dalam menangani kasus-kasus satwa liar akan terus meningkat.
“Dukungan dari lembaga internasional dan pengalaman yang saya dapat dari keanggotaan SWFS akan memperkuat upaya pelestarian dan penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya.
Regional