Hasil penelusuran liputan6.com terdapat fakta berbeda dari yang disampaikan Rektor.
Pertama, awalnya pihak PPDS Anestesi Undip menyebut korban sering menyuntikkan obat itu ke tubuhnya karena sakit saraf kejepit. Namun dari hasil pemeriksaan ditemukan buku harian korban yang menyebut korban tak kuat menahan perundungan.
Kedua, ada pembedaan warna Pin untuk mahasiswa yang sudah senior dan junior, meski tak dijelaskan fungsinya. Pin ini pula untuk menentukan ketika berdiskusi siapa saja yang boleh mendebat.
Ketiga, di pergaulan keseharian, ada jenis pembedaan jenis perundungan. Perundungan yang non pendidikan, soal tugas keseharian. Yunior bertugas seperti pembantu rumah tangga, dari menyediakan bolpen, sandal, air galon, sampai membeli makan, bahkan antar jemput. Perundungan ketika berinteraksi, tidak ada yunior yang boleh bercanda dengan senior, baik dokter sampai residen, duduk satu meja, makan bersama. Biasanya kalau ada senior yang melihat dan memfoto bisa jadi bahan bullyan di group.
Keempat, ketika berada di tempat duduk atau penugasan perlakuan semakin parah. Misalnya ada yang berbuat kesalahan maka hukuman paling ringan di posting di group wa seluruh residen. Yang ditemukan liputan6.com misalnya lupa tidak menghanti air galon, maka akan diunggah foto senior sedang mengganti galon disertai ucapan sarkastik.
“Terima kasih dokter, jaga 1 yang ganti, yunior sekarang sibuk.”
Sementara itu terkait kasus ini, juga ditemukan adanya upaya untuk menyembunyikan dari publik. Bahkan para peserta PPDS mendapat ancaman akan dikenai sanksi tegas jika sampai bocor.
Sebelumnya ucapan duka cita dari fakultas lain diminta untuk diturunkan (take down). Namun kesulitan karena terlalu banyak yang mengucapkan berduka cita, termasuk RSUP Kariadi dan RSUD dr Kardinah Tegal.
Regional