Menjadi Saksi Kontemplasi Godod Sutejo Menuju Keagungan Semesta


REGIONAL- Yogyakarta – Nuansa puitis Shakuhachi (seruling) Suizen yang dibawakan (Sukmo Jati Kusumo Dewo) mengiringi armosfir ruangan Kiniko Art Room yang terpajang lukisan karya Godod Sutejo. Seakan hendak memberi pesan dan membawa para pengunjung menikmati pesona beragam sudut kehidupan alami disetiap lukisan yang khas dan unik karya Godod Sutejo.

Nuansa Nglangut, sepi dalam panorama pemandangan alam yang luas dengan kerumunan orang-orang berbagai aktivitas tampak kecil-kecil mengandung makna bahwa betapa kecilnya manusia ditengah alam semesta. Gunung, lautan dan hamparan bumi yang luas tidak sekadar gambaran kebesaran alam, namun ada pesan filosofis yang mendalam tentang hakekat laku perjalanan manusia sebagai mahluk tertinggi yang sebenarnya kecil ditengah jagat raya. dan patut mensyukuri dan merawatnya dengan baik.

Pengamat seni rupa, Mahmoud Elqadrie menyebut ada pancaran tradisi kearifan lokal berkelindan di balik lukisan Godod Sutejo yang konsisten dalam menjalani laku hidup dalam spritualisme jawa yang berupaya Nggayuh (meraih) kesempunaan urip (hidup) yang sejati.

“Pesan karya seni tak lepas dari cara bagaimana memberi pencerahan kepada audennya, bagi pelukis Godod Sutejo pesan tersebut adalah tanggung jawab seniman yang mengerti tentang nilai-nilai hakekat kehidupan yang nyata, bukan sekadar teknik dan kepiwaian sang seniman dalam mengolah estetiknya diatas kanvas saja,” kata Mahmoud.

Ditambahkan, karya seni juga bisa menjadi cara menunjukkan laku budaya sebagai pertanggung jawaban terhadap kehidupan yang nyata. Dari sini bisa dimaknai bahwa karya-karya lukisan Godod Sutejo adalah bagian dari kontemplasi laku spiritual menuju keagungan semesta dalam memahami kesempunaan hakekat kehidupan.

Pameran tunggal Godod Sutejo yang bertajuk “Manjing”. Menempatkan Agus Yaksa sebagai kurator. Dalam pengantar ulasannya Agus menyebut bahwa Godod Sutejo adalah pelukis alam sepi.

“Membuat hati tenteram dan damai,” katanya dalam pengantar.

Budaya arak-arakan yang menjadi ciri khas dari karya-karya Godod Sutejo, lahir dari kegalauannya dalam mencari ke-khas-an karya yang harus ditampilkan. Pameran tunggalnya kali ini bukan lagi sebagai refleksi kehidupan yang telah dan sedang dijalani. Kontemplasi ritual dilakukan untuk menemukan arti hidup dan makna hidup dalam kehidupannya. Laku spiritual dengan pengembaraan batin ini menemukan “ati” dalam berkaryanya.

Perupa senior Yogyakarta, Godod Sutejo, 71, menggelar pameran tunggal bertajuk “Manjing” di Kiniko Art Management, kompleks Sarang Building, Kalipakis, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 14-31 Agustus 2024. Ini adalah pameran tunggalnya yang ke-18. Ada sekitar 33 karya lukisan yang dia siapkan.

Menurut Mahmoud, karya-karya Godod lebih merujuk kepada ‘raos kasampurnan’ yang tersembunyi dalam “ati”-nya. Di situ, seni sebagai piwulang lan piweling untuk sesama. Lukisan-lukisan Godod banyak memuat nilai-nilai sejarah, fungsi dan tujuannya budaya tadisi yang masih bisa ditemui hingga hari ini.

“Makna arak-arakan dalam budaya dan tradisi Jawa, yang sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah, bahkan di tengah arus globalisasi, tradisi arak-arakan masih terus berlangsung dan lestari,” kata Mahmoud.

Jika diperhatikan, kiprah kesenian yang Manjing Ajur Ajer Godod Sutejo sudah dijalani sejak muda. Saat Godod aktif di Pasar Seni di Ancol dan menjadi ketua Pelukis Ancol masa awal dibukanya. Juga terlibat memprakarsai dan mengelola Bursa Seni dan Pasar Seni FKY hingga membuat Jambore Seni di Ancol dan Beber Seni, ajang yang mirip art fair saat ini. Bahkan strategi dan pola Bursa Seni ala Godod, hingga hari ini kemudian banyak dibuat generasi berikutnya, sebagai upaya mencari peluang pasar alternatif sampai saat ini. 

Bolehlah jika kemudian Godod kita sebut sebagai Bapak Manajemen Seni Yogyakarta. Yang juga seorang organisator yang baik, beberapakali mendirikan organisasi seni rupa, salah satunya Koperasi SEKATA (Seniman Yogyakarta). Maka Godod Sutejo, melalui pameran tunggalnya yang ke-18 kalinya, boleh dikatakan, Godod sudah waktunya Manjing. 

Manjing Empu, Manjing Legenda atau mungkin sudah Manjing Maestro untuk jalan kesenian yang dilaluinya dengan perih, getir, bahagia, berat dan ringan sudah tak bisa lagi dibedakan. Seorang Godod Sutejo melalui pameran ini, menunjukkan bagaimana dia manjing ajur ajer ( masuk, melebur, mencair ) sebagai bentuk konsistensi dan daya tahan dirinya dalam berani nggegegi atau bertahan dalam profesi pilihannya sebagai pelukis, juga jalan rezeki dan cinta kasih serta profesionalismenya dalam jalan kesenian yang dipilihnya.

 

 

Regional