Sementara itu, Rofika, 19 tahun, seorang perempuan yang kini tinggal di kamp 16 di Kutupalong, Cox’s Bazar, bercerita bahwa dalam upaya pelarian pada 2017, pasukan militer Myanmar menembak kaki ayahnya, memaksa orang tua itu berjalan dengan bantuan penyangga atau kruk hingga saat ini.
“Mereka menembak pada malam hari sebelum Magrib, saat hari mulai gelap,” cerita Rofika.
Ia merupakan gadis berumur 13 tahun yang mencari perlindungan ke Bangladesh bersama ratusan keluarga lainnya ketika ayahnya ditembak di tengah areal persawahan.
Mereka berteriak histeris, tetapi tidak dapat berbuat apa pun kecuali memeluk dan membopongnya dengan bantuan penduduk setempat.
Ayah Rofika ditandu ke sebuah desa bernama Fathia, di Myanmar, sebelum tiba di Bangladesh.
Hari mencekam yang meledak pada Agustus 2017 juga dialami oleh Shohida, berasal dari Desa Narain Chaung, Kota Buthidaung, yang merupakan bagian dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
“Kami menginap satu malam di rumah setelah serangan dimulai. Keesokan harinya kami keluar rumah ketika mereka menembak lebih banyak. Tembakan itu tidak mengenai kami, tetapi kami hampir tidak mendengar suara karena ada barak di dekat kami. Jadi kami meninggalkan rumah dan pindah ke desa lain di mana kami tinggal selama empat malam untuk melihat bagaimana situasinya,” tutur Shohida.
Asap membubung tinggi di segenap penjuru pertanda rumah penduduk mulai dibakar, sementara Shohida bersama ibu dan saudara-saudaranya, secara bergantian menggendong nenek mereka yang buta demi mencari desa yang kemungkinan masih bisa ditempati selama pelarian.
Melewati perjalanan berat sepanjang 14 hari hingga mencapai Bangladesh, rombongan itu banyak melihat ceceran darah dan mayat tergeletak di areal persawahan.
Sempat menyeberangi sungai, Shohida dan keluarganya tiba di Bangladesh pada 12 September 2017 dan sempat menginap selama dua hari di desa terdekat sebelum menuju ke kamp pengungsian di Kutupalong.
Mereka sempat tinggal di kamp pengungsi di Balukhali selama lebih kurang enam bulan sebelum dipindahkan.
Kamp Balukhali bertetangga dengan kamp Kutupalong, pada Maret 2021 dilanda kebakaran masif yang menghancurkan sejumlah infrastruktur hingga menewaskan belasan orang.
Kamp Kutupalong terbagi atas beberapa unit kamp serta blok-data Komisi Bantuan dan Repatriasi Pengungsi Bangladesh tahun 2020 menyebutkan bahwa kamp Kutupalong terdiri dari Kamp 1E, 1W, 2E, 2W, 3, 4, 4 Extension, 5, 6, 7, 8E, 8W, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 20 Extension.
Setelah terjadi peningkatan pengungsi dari Myanmar pada 2017, kamp itu diisi oleh hampir satu juta pengungsi dengan luas areal lahan mencapai 13 kilometer persegi.
Salah satu kamp di Balukhali, yang merupakan kamp yang sempat ditempati oleh Shohida dilanda kebakaran dahsyat pada 5 Maret 2023 dan menyebabkan 5000 pengungsi kehilangan tempat tinggal.
Sebuah laporan menyebut sekitar 2.800 rumah serta 155 fasilitas seperti klinik kesehatan, sekolah, dan pusat kegiatan komunitas hangus bersama kebakaran yang berlangsung selama tiga jam itu.
Kebakaran kembali terjadi pada 7 Januari 2024, menghanguskan Kamp 5, salah satu dari 33 kamp yang ada di Cox’s Bazar.
Ada kekhawatiran bahwa kebakaran-kebakaran ini terjadi karena disengaja, apalagi investigasi otoritas setempat mengungkap adanya “sabotase terencana” yang diciptakan oleh geng bersenjata yang terlibat perebutan teritorial.
Kendati tidak secara spesifik menyebutkan kelompok mana yang bertikai, tetapi kebakaran pada 5 Maret 2023 itu secara kebetulan terjadi dua minggu setelah terjadinya pertempuran antara Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan Rohingya Solidarity Organisation (RSO).
Perang antargeng ini berdampak pada pengungsi, membuat mereka hidup di ambang ketakutan terutama menjelang malam hari.
“Sekarang kami memang dalam keadaan damai, tetapi kami berada dalam masalah baru karena kami tidak tahu kapan dan siapa yang akan datang untuk membakar kamp-kamp kami. Jadi kami sebenarnya tidak aman di sini.
Kami takut jika malam hari tiba, suara tembakan itu terdengar sampai ke kamp 16. Kami tidak bisa tidur mulai jam 6 sore karena suara tembakan itu membuat kami takut,” Rofika terdengar khawatir, dalam wawancara awal Maret silam di Cox’s Bazar.
“Kami takut tembakan itu akan mengenai kami,” lagi-lagi hal itu ditegaskan oleh Rofika.
Rofika sempat mendengar cerita bahwa seorang perempuan di kamp 15, Jamtoli, tewas akibat terkena tembakan saat hendak bangkit dari tempat tidurnya.
Rofika yakin bahwa peluru yang melesat secara tidak sengaja mengenai perempuan malang itu ketika dua kelompok sedang bertempur di kawasan itu.
Menurut Rofika, kedua kelompok bersenjata yang dimaksud itu merupakan Harakah al-Yaqin atau ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) dan Rohingya Solidarity Organisation (RSO).
“Siang malam kedua kelompok ini [ARSA vs RSO] saling bertempur dan saling bunuh satu sama lain. Jadi saat mereka saling menembak itulah wanita tadi tertembak secara tidak sengaja,” sebut Rofika.
Regional