Anggota parlemen Taiwan juga pernah terlibat adu jotos; saling dorong, tekel, dan pukul di parlemen pada hari Jumat (17/5/2024), dalam perselisihan sengit mengenai reformasi di majelis tersebut. Insiden ini terjadi hanya beberapa hari sebelum Presiden terpilih Lai Ching-te menjabat tanpa mayoritas legislatif.
Bahkan sebelum pemungutan suara mulai dilakukan, beberapa anggota parlemen saling berteriak dan mendorong keluar ruang legislatif, sebelum aksi berpindah ke lantai parlemen sendiri.
Dalam suasana kacau, seperti dikutip dari New York Post, Minggu (19/5), para anggota parlemen menyerbu kursi pembicara, beberapa melompati meja dan menarik rekan-rekannya ke lantai. Meskipun ketenangan segera kembali, terjadi lebih banyak perkelahian di sore hari itu.
Lai, yang akan dilantik pada hari Senin (20/5) memenangkan pemilu bulan Januari, namun Democratic Progressive Party (Partai Progresif Demokratik) atau DPP kehilangan mayoritas di parlemen.
Partai oposisi utama, Kuomintang (KMT), memiliki lebih banyak kursi dibandingkan DPP namun tidak cukup untuk membentuk mayoritas, sehingga partai ini bekerja sama dengan Taiwan People’s Party (TPP) atau Partai Rakyat Taiwan yang kecil untuk mempromosikan gagasan bersama mereka.
Pihak oposisi ingin memberi parlemen wewenang pengawasan yang lebih besar terhadap pemerintah, termasuk usulan kontroversial untuk mengkriminalisasi pejabat yang dianggap membuat pernyataan palsu di parlemen.
DPP mengatakan KMT dan TPP secara tidak pantas mencoba memaksakan usulan tersebut tanpa melalui proses musyawarah adat, yang oleh DPP disebut sebagai “penyalahgunaan kekuasaan yang tidak konstitusional.”
“Mengapa kami menentang? Kami ingin bisa melakukan diskusi, bukan hanya ada satu suara di negara ini,” kata anggota parlemen DPP Wang Mei-hui, yang mewakili kota Chiayi di selatan, kepada Reuters.