GLOBAL- Ottawa – Seorang mantan pejabat Arab Saudi menuduh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) memalsukan tanda tangan ayahnya pada dekrit kerajaan yang menandai perang melawan pemberontak Houthi di Yaman.
Arab Saudi tidak menanggapi pertanyaan atas tuduhan yang dibuat tanpa bukti pendukung oleh Saad al-Jabri, mantan kepala staf mantan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Nayef, dalam wawancara dengan BBC yang pertama kali diterbitkan pada hari Senin (19/8/2024).
Al-Jabri mengulang tuduhannya dalam pernyataan kepada kantor berita The Associated Press (AP).
Kerajaan Arab Saudi menggambarkan al-Jabri sebagai mantan pejabat yang tidak dapat dipercaya. Al-Jabri, seorang mantan mayor jenderal dan pejabat intelijen yang tinggal di pengasingan di Kanada, telah lama berselisih dengan kerajaan saat kedua anaknya dipenjara atas kasus pencucian uang.
Dia menggambarkan penahanan kedua buah hatinya sebagai upaya untuk membuatnya kembali ke Arab Saudi.
“Saya bukan seorang pembangkang, saya juga tidak menempatkan diri saya dalam situasi ini karena pilihan,” kata al-Jabri seperti dikutip dari AP, Rabu (21/8). “Saya adalah pejabat tinggi Arab Saudi yang mengabdikan dirinya untuk menjaga negaranya, dikenal karena menyelamatkan ribuan nyawa warga Arab Saudi dan Barat. Sekarang saya adalah seorang ayah yang melakukan segala yang mungkin untuk mengamankan pembebasan anak-anaknya.”
Tuduhannya muncul saat MBS menjabat sebagai pemimpin de facto Arab Saudi, di mana dia sering bertemu dengan para pemimpin dunia untuk menggantikan ayahnya, Raja Salman, yang berusia 88 tahun.
Perilaku tegas MBS, terutama masa awal kenaikannya ke tampuk kekuasaan sekitar awal perang Yaman pada tahun 2015, telah meluas ke tindakan keras yang lebih luas terhadap setiap perbedaan pendapat atau basis kekuatan yang dianggap dapat menantang kekuasaannya.
Kepada BBC, al-Jabri mengatakan bahwa seorang pejabat kredibel dan dapat diandalkan yang terkait dengan Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengonfirmasi kepadanya bahwa MBS memalsukan tanda tangan Raja Salman di dekrit yang menyatakan perang di Yaman. MBS adalah menteri pertahanan saat itu.
Sementara itu, kepada AP al-Jabri mengisahkan bahwa dia telah mencapai kesepakatan dengan sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Barack Obama saat itu agar Arab Saudi meluncurkan serangan udara untuk melenyapkan ancaman Houthi, membangun pencegahan, dan mendorong proses politik tanpa intervensi darat.
Pangeran Mohammed bin Nayef yang juga menjabat sebagai menteri dalam negeri Arab Saudi saat itu lantas memimpin pertemuan di Arab Saudi untuk meresmikan rencana tersebut. Namun, klaim al-Jabri, MBS meresponsnya dengan tidak senang dan mengatakan dia dapat mengalahkan Houthi dalam dua bulan dengan serangan darat.
“Anehnya, perintah kerajaan kemudian dikeluarkan, mengesampingkan rencana yang disepakati dan mengesahkan operasi darat — tanpa sepengetahuan raja dan dengan tanda tangan palsu,” kata al-Jabri kepada AP.
Kementerian Luar Negeri AS menolak mengomentari klaim al-Jabri.